Kamis, 05 Mei 2011

Bukannya melarat tapi yang dituju hanyalah akhirat

Sa’id bin ‘Amir Al Jumahy

Sa’id bin ‘Amir Al Jumahy


Sahabat mulia Khubaib bin ‘Adiy radiyallahu ‘anhu  mengajarkan kepada Sa’id bin ‘Amir al arti kehidupan yang sebenarnya dan apa yang harus diperjuangkan dan diharapkan dalam kehidupan dunia ini ketika beliau belum masuk Islam. Seperti apa kisahnya?
Saat itu Khubaib bin ‘Adiy radiyallahu ‘anhu  tertawanan Kafir Quraisy.Dengan terikat kedua tangannya, beliau diarak menuju tempat kematiannya.Para wanita dan anak-anak bersorak riuh, sekadar luapan dendam kekalahan mereka pada Perang Badar.
Ketika semua orang telah berkumpul. Sa’id bin ‘Amir al jumahiy berdiri di depan Khubaib, memandangnya dengan tajam.Saat itu ia mendengar suara lirih Khubaib yang takkan pernah dilupakannya,“Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua raka’at sebelum kalian membunuku”. Tak masalah bagi mereka memenuhi permintaan terakhir Khubaib. Seusai shalat Khubaib berkata lantang, “Demi Allah! Jika bukan karena persangkaan kalian bahwa shalatku hanya untuk mengulur waktu karena takut mati, niscaya aku akan shalat lebih lama lagi.”
Detik menjelang ajal kian dekat. Tampaknya orang Quraisy tak ingin kematiannya berlangsung mudah. Karena itu, mereka mengiris bagian tubuhnya sepotong demi sepotong. Mereka nikmati drama penyiksaan tersebut sembari mengejek, “Sukakah engkau bila Muhammad menggantikanmu dan engkau selamatkan?” Dengan tegar beliau menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan senang dalam keadaan aman dan tenang bersama istri dan anakku, sementara Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tertusuk duri”,  bergemuruhlah teriakan “Bunuh dia…! Bunuh dia…!” Sa’id bin ‘Amir dengan seksama memperhatikan Khubaib a, beliau menngangkat kepala ke langit dan berdoa dengan nafasnya yang teakhir, “Ya Allah..Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan sisakan seorang pun!”
Kejadian tersebut membuat Sai’d shock. Hatinya mempertanyakan.Seteguh itukah pengikut Muhammad menjaga keyakinannya? Motivasi apa yang mampu membakar keyakinan mereka, meskipun nyawa menjadi taruhannya?Pengalaman itu pun mengantarkan sa’id kepada Islam. Agama terakhir yang ia yakini kebenarannya.
Pada masa Umar bin khattab radiyallahu ‘anhu , Said merupakan tokoh penting yang menjabat sebagai gubernur Homs, Syiria. Sebenarnya beliau setengah hati menjadi pejabat. Jika bukan karena Umar yang meminta, beliau pasti menolaknya.
Secara periodik, Umar memanggil pejabat dari berbagai wilayah untuk melaporkan pemerintahan di daerahnya. Umar juga meminta daftar fakir miskin yang berhak mendapat tunjangan dari negara. Umar begitu kaget kala membaca daftar dari Homs. Ternyata nama Sa’id bin ‘Amir tercantum dalam daftar tersebut. Setengah tidak percaya. Beliapun mengkonfirmasi, benarkah nama tersebut adalah guberhur Homs. “Betulkah Gubernur kalian miskin?”“Sungguh ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Sering kami melihat api tak menyala di rumahnya!” Jawab mereka.Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau menetes membasahi jenggotnya.
Beberapa waktu kemudian. Saat mengikuti perjanjian penyerahan Baitul Makdis, Umar menyempatkan diri mengunjungi kota Homs.Beliau menanyakan kepada warganya tentang pelayanan publik yang menjadi tugas para pejabat. Terutama sang gubernur Sai’d bin Amir. Beberapa warga mengeluhkan beberapa kebiasaan khalifah yang mereka anggap tidak baik. Sebagai khalifah yang bijak. Umar tidak serta merta menyalahkan Gubernur dan memihak rakyat. Beliau pertemukan kedua belah pihak untuk mencairkan masalah tersebut. Tapi, dalam hati umar berdoa, “Semoga persangkaan baik saya selama ini kepada Sa’id bin ‘Amir tidak salah.”
Warga Homs mengeluhkan empat hal. Pertama, gubernur selalu terlambat datang ke tempat kerja ketika matahari sudah tinggi. Kedua, Sa’id tidak mau melayani warganya pada malam hari. Ketiga, Sa’id menambah liburnya sehari tiap bulan. Terakhir, Sa’id sering sekali pingsan, lalu meninggalkan majlis. “Apa tanggapanmu, Sa’id?” tanya Umar.
“Sebenarnya saya keberatan menanggapinya, tetapi apa boleh buat. Pertama, saya tidak mempunyai pembantu. Setiap harisaya lah yang memasak roti untuk keluarga.Sesudah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.
“Saya juga telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat. Karena itu malam hari aku gunakan untuk bertaqarrub kepada Allah.”
“Sebagaimana telah saya terangkan tadi, saya tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badanku ini. Saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani mereka.
“Terakhir, dulu ketika saya masih musyrik, saya menyaksikan Khubaib bin ‘Adiy dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib sepotong demi sepotong. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib ‘Sukakah engkau bila Muhammad menggantikanmu dan engkau kami selamatkan?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan senang dalam keadaan aman dan tenang bersama istri dan anakku, sementara Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tertusuk duri.’
“Demi Allah!Tiap mengenang peristiwa itu, dimana saya membiarkan Khubaib dan tidak membelanya sedikitpun, saya merasa bahwa dosa saya tidak akan diampuni Allah subhanahu wa ta’ala. Saya pun pingsan.”
Mendengar jawaban tersebut hati Umar benar-benar lega. Seperti ada beban berat yang tiba-tiba terlepas. “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan persangkaan baikku benar.” Ucap khalifah menutup dialog.
Beberapa waktu kemudian, Umar mengirimkan seribu dinar kepada Sa’id, sebagai tunjangannya dari negara.Namun apa kata Sa’id? “Dakhalat ‘alayya dunya litufsida akhirati, ada dunia yang datang untuk merusak akhiratku.” Said tidak menolak uang tersebut. Ia ingin harta itu lebih bermanfaat bagi dirinya dan keluarganya..“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita” Kata Sa’id kepada istrinya.
“Mengapa?” tanya istrinya.“Dengan begitu berarti kita depositkan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Sa’id.“Baiklah kalau begitu,” kata istrinya. “Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang paling baik.” Kemudian uang itu dimasukkan Sa’id ke dalam beberapa pundi, lalu diperintahkannya kepada salah seorang keluarganya, “Pundi ini berikan kepada janda si Fulan, pundi ini kepada anak yatim si Fulan, yang ini kepada keluarga si Fulan yang miskin dan keluarga si fulan yang fakir.Subhanallah!
Posted in Kajian |

Kamis, 20 Januari 2011

Cara Sahabat Membalas Budi, Umair Bin Sa’ad

Sahabat mulia Umair bin Sa’ad, yatim dan miskin sejak kecil di Madinah. Keadaannya berubah Setelah ibunya menikah lagi dengan seorang hartawan dari kabilah Aus, bernama Al Julas bin suwaid. Diasuhlah Umair bin Sa’ad oleh Julas layaknya anak sendiri, Umair mendapatkan perhatian penuh dari bapaknya yang baru, sehingga semakin melekat dan tumbuh rasa cinta Umair kepada Julas. Pun demikian Julas semakin bertambah sayang kepada Umair yang beranjak remaja dan terlihat padanya tanda-tanda kecerdasan, kebaikan amal, amanah dan jujur.

Umair masuk islam sejak kecil. Meskipun masih muda belia, ia tidak pernah terlambat untuk sholat dibelakang Rasulullah SAW.

Pada tahun 9 H, Rasulullah SAW mengumumkan perang melawan Romawi di Tabuk, dan memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menyiapkan segala sesuatunya. Saat itu musim kemarau, cuaca sangat panas, buah-buahan mulai ranum, orang-orang lebih menyukai berada dekat di kebun-kebun mereka, serta tidak suka berangkat dalam kondisi yang sulit, ditambah perjalanan yang sangat jauh, dan mengingat musuh yang kuat.

Pada hari dimana pasukan bersiap-siap, kembalilah Umair bin Sa’ad ke rumahnya setelah menunaikan sholat di masjid. Ia melihat wanita-wanita muhajirin yang menyambut seruan Rasul SAW dengan memberikan perhiasan yang mereka punya, ia melihat Utsman bin Affan yang membawakan seransel penuh dengan seribu dinar emas, ia menyaksikan Abdurrahman bin Auf yang yang memanggul di pundakknya dua ratus uqiyah dari emas, bahkan ia melihat seorang sahabat yang menjual kasurnya agar bisa membeli pedang untuk berjihad.

Namun ia heran dengan sikap Julas yang tidak ikut serta berlomba-lomba meraih keridhoan Ilahi memenuhi seruan Nabi SAW, padahal ia seorang yang kaya. Bangkitlah Umair bin Sa’ad membangkitkan semangat Julas bin Suwaid dengan menceritakan pemandangan berharga yang telah ia lihat dan ia dengar, terkusus kisah para sahabat yang pulang dengan kesedihan dan tetesan air mata karena tidak dibawa ikut serta dalam pasukan dikarenakan tiada tumpangangan yang dapat membawa mereka.

Akan tetapi Julas tidak begitu tertarik dengan kisah indah yang di ceritakan, hingga mulutnya berucap dengan kalimat yang sampai-sampai Umair mengerutkan dahinya dan akalnya tidak menerimanya. Ia mendengar Julas berkata : “Jikaulau Muhammad benar dengan apa yang disangkanya bahwa ia adalah seorang Nabi maka tentu kami lebih jelek dari keledai”.

Sungguh tercengang dan Umair tak menyangka mendengar kalimat yang keluar dari mulut Julas, dengan kalimat itu keluarlah keimanan Julas secara keseluruhan dan memasukkannya pada kekafiran.

Umair bin Sa’ad berfikir sejenak, apa yang mesti diperbuatnya, kalaulah diam dan menutupi perkataan Julas berarti berkhianat kepada Allah, RasulNya serta membahayakan Islam dan muslimin. Kalulah di sebarkan apa yang didengarnya seperti tak berterimakasih atas kebaikan Julas; yang telah mencukupi, melindungi bahkan memposisikan seperti anak kandungnya. Dua pilihan yang sama pahit baginya, Namun putusan harus ditetapkan, ia memandang kepada Julas dan berkata : “Demi Allah wahai Julas, tidak ada manusia dimuka bumi ini setalah Rasulullah SAW yang lebih aku cintai dari mu. Bila kusebarkan aku menghinamu, bila kusembunyikan aku berkhianat, tidak amanah dan menghancurkan agamaku, aku akan mengabarkan ini kepada Rasulullah SAW..”

Bergegas Umair ke masjid untuk menemui Nabi dan mengabarkan kejadiannya, kemudian Rasulullah SAW mengutus utusan untuk memanggil Julas, tak berselang lama, datanglah Julas mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan duduk dihadapan Rasul, Umair dan para sahabat yang lain.

Rasul SAW bertanya : “kalimat apakah yang didengar Umair darimu”, Kemudian disebutkan kalimatnya. Dengan meyakinkan ia menjawab : “ia berdusta atasku ya Rasul, tidaklah mungkin aku mengatakan kalimat itu!” serentak beberapa sahabat mengalihkan pandangan matanya kepada Umair dan Julas, mana diantara mereka yang benar dan jujur dengan perkataannya. Lalu Nabi menoleh ke Umair yang wajahnya telah memerah, air matanya menetes dipundak dan dadanya kemudian berdoa : “Ya Allah, turunkan lah kepada Nabi-Mu kejelasan dari apa yang telah ku katakan..”

Julas memperkuat pernyataannya dan berkata : “wahai Rasulullah, apa yang aku katakan adalah suatu kebenaran. kalaulah perlu, aku akan bersumpah dihadapanmu”. Kemudian ia bersumpah tanpa diminta oleh Rosulullah SAW.

Para sabahat tercengang, hingga Rosulullah SAW terdiam tenang dalam keadaan menerima wahyu, setelah terbangun beliau membaca Ayat yang turun :

Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya[mereka ingin membunuh Nabi Muhammad SAW], dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (QS. At Taubah : 74)

Gemetarlah Julas mendengar ayat yang turun, kemudian menoleh kepada Nabi seraya berkata :”saya bertaubat wahai Rasulullah…saya bertobat., benarlah Umair ya Rasul, sayalah yang berdusta. Pintakan kepada Allah agar menerima taubatku, jadikan saya sebagai tebusamu Ya Rasul.

Nabipun menoleh ke Umair, dilihatnya darah yang berkumpul dikepalanya telah menyebar dan wajahnya pun sudah berseri, tersinari dengan cahaya iman, kemudian tangan Rasul yang mulia memegang telinga Umair dengan halus dan berkata: “benarlah apa yang didengar oleh telingamu wahai anak, dan telah membenarkan Rabmu”.

Kembalilah Julas kepangkuan islam dan ia memperbagus keislamanya. Para sahabat telah mengetahui kebaikan Julas kepada Umair, dan bila disebut umair, julas berkata : semoga Allah membalas kebaikannya atasku, sungguh telah menyelamatkaku dari kekafiran, dan membebaskanku dari Neraka.
Posted in Kajian | Tagged balas budi, sahabat, umair bin sa'ad

Selasa, 11 Januari 2011

Sedikitnya Teman Perjalanan, Harga Sebuah Kemuliaan

Suatu kali, Umar bin Khathab mendengar seseorang berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit (minoritas).” Beliau bertanya, “Wahai hamba Allah, apa yang kamu maksud dengan golongan minoritas?”

Orang itu menjawab, “Saya menyimak firman Allah, Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.” (QS. Hud: 40), juga firman-Nya, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS. Saba’ 13). Kemudian orang itu menyebutkan beberapa ayat lagi. Lalu Umar berkata, “Setiap orang memang lebih faqih dari Umar.”

Fragmen ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa untuk meraih derajat yang tinggi dan mulia, harus bersiap menempuh jalan yang sepi dari teman. Karena orang kebanyakan tidak sanggup menempuh puncak ketinggian. Derajat muslim hanya disandang sebagian kecil dari total penduduk bumi yang luas ini. Di antara sekian banyak muslim, hanya sebagian kecil yang menduduki peringkat mukmin. Dan di antara sekian banyak mukmin, hanya sedikit sekali yang mampu meraih derajat muhsin. Dan begitulah, makin tinggi tujuan, makin sedikit teman perjalanan.

Menyadari Konsekuensi Pilihan

Orang yang memiliki cita-cita mulia, harus menyadari pilihan ini. Ia sama sekali tidak terpengaruh atau larut oleh suara kebanyakan. Tidak pula terwarnai oleh tradisi yang sudah menjadi hegemoni. Baginya, itu bukanlah ukuran. Sufyan bin Uyainah RHM berkata, ”Tempuhlah jalan kebenaran, janganlah merasa kesepian dengan sedikitnya teman perjalanan.”

Fudhail bin Iyadh RHM juga berkata, ”Berpeganglah pada jalan hidayah, jangan ragu akan sedikitnya orang yang menempuhnya jalannya. Jauhilah jalan kesesatan, dan jangan tertipu oleh banyaknya jumlah orang yang bergabung bersama mereka.”

Begitulah semestinya sikap kita dalam memegangi kebenaran, demikian pula usaha kita dalam meraih cita-cita. Bukankah orang yang masuk jannah tanpa hisab lebih sedikit dari penghuni jannah yang lain? Bukankah ’imam fid dien’ (pemimpin dalam agama) lebih sedikit dari pada jumlah makmum yang di belakangnya?

Jika ingin sukses dengan tingginya capaian ilmu dan amal, jangan menjadikan kebiasaan awam sebagai ukuran. Jika usaha kita setara dengan orang kebanyakan, kita baru bisa dikatakan sebagai sembarang orang, belum mencapai kedudukan ’bukan orang sembarangan’.

Ibnu Mas’ud memberi nasihat kepada penyandang al-Qur’an agar berbeda dengan umumnya orang, ”Sudah sepantasnya bagi penyandang al-Qur’an menghidupkan malamnya di saat manusia tidur, shaum di siang hari di saat manusia berbuka, menunjukkan kesedihannya saat manusia bersenang-senang, menangis di saat manusia tertawa, diam saat manusia banyak bicara, khusyu’ saat manusia tampak kesombongannya.”

Bahkan Allah juga mengingatkan kepada para istri Nabi agar menjaga kemuliaan mereka dengan tidak menyerupai orang awam dalam berkata dan berbuat. Tidak sepantasnya mereka meniru wanita lain, dan justru kaum wanitalah yang seharusnya menjadikan mereka sebagai panutan. Allah berfirman,

”Wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa.” (QS. al-Ahzab: 32)

Ibnu Katsier RHM berkata, ”bahwa jika mereka bertakwa kepada Allah sebagaimana yang Allah perintahkan, maka tak ada wanita yang menyerupai mereka, dan tak ada wanita yang mampu menandingi kemuliaan dan kedudukan mereka.”

Menepis Rasa Keterasingan

Menggapai kedudukan tinggi memang harus bersiap menjadi manusia langka, orang asing dan beda dari yang lain. Adalah manusiawi jika terkadang dia merasa kesepian. Untuk menepis rasa ini, kita bisa bergabung dalam kafilah orang-orang yang jauh keutamaannya di atas kita, meski mereka hidup di zaman sebelum kita. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Mubarak RHM tatkala diajak mengobrol usai shalat beliau menjawab, ”Aku ingin segera bergabung bersama para sahabat dan para tabi’in. Aku ingin membaca kitab dan mencatat perkataan mereka. Sedangkan bila aku nongkrong bersama kalian, apa yang bisa kudapatkan?”

Ini semisal dengan wejangan sebagian salaf yang disebutkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah RHM dalam Madaarijus Saalikin, ”Jika suatu kali kamu merasa kesepian karena sedikitnya teman, maka lihatlah teman perjalanan yang telah berada di depan, berusahalah untuk menyusul mereka. Janganlah pandanganmu terpaku kepada selain mereka (yang lebih lambat dari jalanmu), karena hal itu tak akan berguna bagimu di sisi-Nya. Jika mereka menyerumu untuk melambatkan jalanmu, janganlah menoleh kepada mereka. Karena sekali saja kamu menoleh, mereka bisa mengejarmu. Seperti perumpamaan kijang dan serigala. Sebenarnya kijang lebih kencang larinya dari serigala. Hanya saja tabiat kijang selalu menoleh begitu merasakan sesuatu, dan itu akan memperlambat jalannya. Maka serigala pun bisa menangkapnya, karena dia hanya fokus dengan apa yang menjadi tujuannya.”

Penulis juga pernah mendengar, seorang da’i yang melewati hutan dengan motor, tak sengaja menabrak harimau yang sedang mengejar mangsanya. Harimau terjatuh, namun itu tidak merubah fokusnya untuk mengejar hewan yang sejak semula hendak dimangsanya.

Begitulah mestinya pemburu derajat mulia yang sebenarnya. Selalu fokus dengan cita-citanya yang mulia. Lingkungan ataupun kondisi umumnya manusia yang suka berlambat dan leha-leha semestinya tidak menghambat laju geraknya. Sebagai realisasi dari wasiat Nabi SAW,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersungguhlah melakukan apa yang bermanfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah.” (HR Muslim)

Tingkat kegigihan, ketegaran dalam menghadapi segala rintangan, dan optimisme dalam menjawab semua tantangan harus di atas rata-rata umumnya orang. Waktu belajarnya, melebihi waktu belajarnya orang-orang, dan tingkat pengorbanannya melebihi pengorbanan orang-orang sembarangan. Inilah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemuliaan, wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah)
diambil dari www.arrisalah.net

Sabtu, 08 Januari 2011

Zaid al Khair, Semakin Indah, Bagai Emas yang Disepuh

Biasanya, kisah shahabat nabi memiliki plot yang agak mirip. Awalnya memusuhi Islam, lalu datang hidayah dan selanjutnya berbalik secara drastis menjadi pembela Islam. Meski cahaya Islam telah menaungi, tapi tidak sedikit yang senantiasa dihantui kenangan hitam di masa jahiliyah. Seperti Umar bin Khattab yang selalu teringat anak putrinya yang telah ia bunuh atau Abu Sufyan al Haritsi yang terus saja menyesali permusuhannya pada Islam di masa lalu. Tapi diantara shahabat nabi yang lain, tidak sedikit pula yang “dari sana”nya memang orang baik-baik. Misalnya, tiga orang shahabat Nabi yang bernama “Zaid”; Zaid bin Haritsah yang menjadi budak pertama yang masuk Islam, Zaid bin Tsabit yang sejak kecil masuk Islam, dan yang terakhir adalah Zaid bin Muhalhil yang sejak masa jahiliyahnya sudah terkenal sebagai seorang yang penyayang.

Nah kisah kali ini adalah kisah Zaid bin Muhalhil. Dulu dia dijuluki Zaid al Khail, Zaid sang Kuda jantan. Sebuah julukan yang mengisyaratkankemuliaan dan kebaikan. Tapi setelah masuk Islam, gelar itu diganti oleh rasulullah dengan “Zaid al Khair” atau Zaid sang pemilik kebaikan.

Zaid al Khair, sejak masa jahiliyahnya, beliau memang sudah terkenal sebagai pribadi yang baik dan penyayang. Sebuah kisah yang diceritakan oleh asy Syaibani dari seorang kakek dari bani Amir, dia menuturkan bahwa suatu ketika bani Amir ditimpa paceklik. Hujan yang kunung turun mengakibatkan ladang menajdi tandus. Sang kakek yang pada saat itu masih belum terlalu tua, merasa kasihan dengan anak dan isterinya.

Ia pun mencoba mencari peruntungan dengan pergi ke Hairah. Sampai disana, dia katakan pada anak dan istrinya, “Kalian tunggulah aku di sini sampai aku kembali membawa harta atau aku mati.” Dengan sedikit perbekalan, dia pun pergi. Di jalan, dia melihat tenda yang disampingnya ada unta yang ditambatkan. Dia berpikir bahwa itu adalah ‘ghanimah’, harta rampasan. Dengan mengendap ia mencoba mengambil unta itu. Namun malang, terdengar suara dari tenda, “lepaskan unta itudan rampaslah dirimu sendiri.” Ia pun urung mengambil unta tersebut.

Setelah tujuh hari berjalan, ia menemukan tenda yang lebih besar dan megah. Disampingnya terdapat tambatan unta. Ia berpikir, pasti ada unta disini. Ia pun mengendap ke dalam tenda, ternyata di dalamnya hanya terdapat seorang kakek yang sudah renta. Saat itu hari sudah mulai gelap. Ia pun mengendap dan tanpa sepengetahuan si kakek, dia bersembunyi di belakang tempat tidurnya. Lalu datanglah seorang penunggang kuda membawa seratusan ekor unta dan dua hamba sahaya. Ia berhenti dan berkata, “Perahlah unta ini, dan berikan pada kakek.” Salah seorang pembantunya pun memerah susu dan meletakkannya dihadapan sang kakek. Sang kakek pun meminum satu-dua teguk. Orang bani Amir yang bersembunyi dengan segera mengambil susu dan meminumnya hingga habis. Saat si pembantu masuk dia menemukan bejana susu sudah kosong. Ia berkata, “Kakek telah meminumnya semua.” Sang penunggang kuda menyuruh untuk memerah susu lagi. Kejadian serupa terjadi, tapi orang dari bani Amir hanya meminum separuh. Sang penunggang kuda lalu menyembelih kambing dan menyuapi sang kakek dengan tangannya. Setelah itu, ia dan dua hamba sahayanya makan samapi kenyang dan merekapun tertidur.

Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh orang dari Bani amir untuk membawa lari unta-unta yang ditambatkan tanpa penjaga. Ia hanya mengambil unta bunting yang ditambatkan. Tapi ternyata, unta-unta lain mengikutinya. Ia pun berjalan hingga siang keesokan harinya.

Sekonyong-konyong dari kejauhan ia melihat sesosok bayangan hitam mendekati. Ternyata dia adalah penunggang kuda. Setelah dekat, orang bani Amir mengambil panahnya dan siap menembak. Penunggang kuda berkata, “Lepaskan tali unta itu.” Orang Bani Amir berkata, “Tidak, aku meninggalkan isteri dan anak-anakku di Hairah, aku bersumpah aku tidak akan kembali kalau tidak membawa harta atau aku mati.”

Penunggang kuda berkata, “Kalau begitu, kau akan mati.” Terjadilah perdebatan. Tapi aneh, penungang kudaitu tidak menghunus pedang malah meminta agar orang Bani Amir itu memilih lubang tali kekang yang mana yang ingin dipanah. Ia pun memilih yang tengah. Penunggang kuda itupun memanah lubang tali itu seakan-akan ia memasukkanya dengan tangannya. Demikian pula dua lubang tali disampingnya. Tahu akan keakuratan tembakan musuhnya, orang dari Bani Amir menurunkan panahnya dan menyerah.

Penungganga kuda berkata, “Menurutmu, apa yang akan aku lakukan padamu?”

Orang bani amir menjawab, “Hal yang buruk.”

Penunggang kuda berujar, “Kau kira aku akan berbuat buruk padahal kau telah menemani “Muhalhil” makan, minum dan lalu engkau akan menyesali malam itu?”–Muhalhil ternyata adalah kakek di dalam tenda yang bukan lain adalah ayah penunggang kuda-. Mendengar nama Muhalhil yang kesohor, orang Bani Amir berkata, “ Jadi anda adalah Zaid al Khail, putra Muhalhil? Kalau begitu berbuat baiklah atas tawananmu ini.”

Penunggang kuda berkata, “Tak masalah. Kalau saja unta ini milikku pasti akan aku berikan padamu. Tapi unta-unta ini milik saudariku.”

Itulah Zaid di masa Jahiliyah. Sedang pada masa keislamannya, Zaid seumpama emas yang disepuh, mengkilap dan semakin indah. Beliau masuk Islam setelah mendengar khutbah Nabi Muhammad. Begitu mudah dan lancar hidayah mengalir ke sanubarinya. Setelah bersyahadat, Rasulullah bertanya, “Siapa kamu?” Zaid menjawab, “ Saya Zaid al Khail.” Rasulullah bersabda, “kamu Zaid al Khair, bukan al Khail.” Lalu Zaid diajak ke rumah beliau dan diberi bantal untuk bersandar. Tapi Zaid menolak karena sungkan duduk bersandar di hadapan Rasulullah.

Rasulullah bersabbda, “ Wahai Zaid, belum pernah ada orang yang diceritakan ciri-cirinya kepadaku, lalu aku menemukannya lebih dari yang diceritakan, selain dirimu. Wahai Zaid sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah.”

Zaid bertanya, “ Apa itu wahai Rasulullah?”

Rasulullah bersabda, “Sifat welas asih dan lemah lembut.”

Zaid berkata, “ Segala puji bagi allah yang telah memberiku sifat yang dicintainya.”

Lalu seluruh pengikut Zaid memeluk Islam. Pada hari menjelang kepulangannya, Madinah terkena wabah demam. Zaid tetap pulang menuju kaumnya dengan harapan kaumnya bisa mendapat hidayah sepertinya. Tapi ajal tak dapat ditolak, Zaid terkena wabah demam dan belum sampai ia masuk ke rumahnya, malaikat maut telah menjemput dirinya.

Subhanallah, antara keislaman dan ajalnya, tak terdapat sedikitpun celah baginya untuk bermaksiat. (T. Anwar/disarikan dari Suwar min Hayatish Shahabah, DR. Abdurrahman Ra’fat Basya)
Dari Majalah Arrisalah bulan Desember....

Perkenalan

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokhatuh...

Alhamdulillah puji syukur kepada Alloh yang senantiasa memberikan kita nikmat iman sehingga kita bisa selalu bersyukur kepada Nya. Pada tanggal 9 Januari 2011 Alhamdulillah blog untuk Kpa Magelang telah dibuat semoga kiranya bermanfaat bagi umat....

Wassalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokhatuh...

Abu Yahya
KPA Magelang